Indahnya Persahabatan Masa Kecil di Dunia Nussa

Indahnya Persahabatan Masa Kecil di Dunia Nussa

Kalian pada nyadar nggak sih, semakin dewasa, semakin bertambah tua, sahabat kita semakin mengerucut alias semakin sedikit. Yang dulu saat sekolah jadi sahabat kental, pas udah kerja atau menikah bisa jadi renggang atau putus kontak. Apalagi kalau tinggal berjauhan dengan aktivitas yang sama-sama padatnya.

Sahabat juga ganti-ganti di setiap level pergaulannya. Sahabat SD akan berbeda dengan SMP. Sahabat SMP akan berbeda dengan SMA. Pun dengan kuliah, kerja, bahkan ketika menikah. Semakin bertambah umur, sahabat yang bertahan tetap dekat dan keep in touch sama kita pun semakin dikit, tersaring, dan satu per satu terkena seleksi alam.

Tapi punya sahabat yang bisa sefrekuensi dan awet sampai tua tuh menyenangkan banget. Ada tempat buat bersandar setelah keluarga dan pasangan. Tapi sahabat yang sefrekuensi, nggak fake, dan awet tuh emang langka, susah dicarinya. Makanya aku kalau nonton cerita soal persahabatan selalu senang karena merasa banget semakin bertambah umur, sahabat semakin sedikit. Sekalian mengenang indahnya masa kecil. Kayak di film Nussa ini.

Sinopsis Film Nussa

Judul: Nussa
Sutradara: Bony Wirasmono
Produser: Anggia Kharisma, Ricky Manoppo
Penulis skenario: Muhamad Nurman Wardi, Widya Arifianti
Penulis cerita: Bony Wirasmono, Chrisnawan Martantio, Anggia Kharisma, M. Irfan Ramly
Didasarkan dari Nussa oleh Ricky Manoppo
Pemeran: Muzakki Ramdhan, Aysha Raazana Ocean Fajar, Ali Fikry, Malka Hayfa Asy’ari, Widuri Puteri, Fenita Arie, Alex Abbad
Perusahaan produksi: The Little Giantz, Visinema Pictures
Tanggal rilis: 8 Juli 2021 (Korea Selatan), 14 Oktober 2021 (Indonesia)
Durasi: 107 menit

Sebagai juara bertahan festival sains selama 2 tahun berturut-turut, Nussa selalu punya inovasi baru terhadap roketnya. Tahun ini pun, ia kembali ingin ikut festival sains di sekolahnya dengan menampilkan roket barunya yang dibuat dari barang-barang bekas.

Nussa merupakan anak laki-laki yang menonjol di bidang sains. Dia jadi andalan sekolah dan teman-temannya untuk mewakili mereka di festival sains. Selain pintar dalam bidang lain, Nussa juga dikenal sebagai anak yang taat beragama dan juga cinta keluarga.

Hingga suatu hari, datanglah seorang murid baru di sekolah bernama Jonni. Jonni memiliki roket ciptaan yang memiliki teknologi lebih canggih dan modern daripada milik Nussa. Sayangnya, Jonni memiliki sifat yang tertutup dan kurang ramah dengan teman-temannya.

Saat lomba sains tiba, Nussa dan Jonni pun bersaing ketat. Apalagi pemenang lomba ini akan mewakili Festival Ramadan Science antarsekolah. Lalu, siapakah yang akan keluar sebagai juara dalam pertandingan sains kali ini?

Review Film Nussa

Senang banget akhirnya pas bioskop kembali dibuka, anak-anak bisa masuk bioskop dengan prokes ketat, dan ngepasin banget ada film animasi yang bisa jadi tontonan anak-anak di masa pandemi ini.

Pas banget momen dan filmnya, akhirnya aku bisa ngajakin sekeluarga termasuk juga Aqsa buat ke bioskop. Tahu nggak, ini ke bioskop pertamaku setelah pandemi menyerang dan melahirkan. Terakhir kali ke bioskop tuh pas aku masih hamil Aqsa, tahun 2018, so loooong.

Sebelum mereview, aku juga bangga banget karena pada akhirnya Indonesia punya film animasi yang bagus dan sarat makna hidup. Apalagi Nussa ini berawal dari creator di Youtube. Yuk lah, creator lain kayaknya juga bisa karakternya difilmkan.

Btw, aku akan mereview dari sudut pandang orang yang nggak ngerti sama sekali soal Nussa ini. Maklum aja, anakku lebih suka nonton Omar Hana daripada Nussa Rara di Youtube. Jadi aku sama sekali nggak tahu soal detail kayak kenapa Nussa pakai kaki bionic, Abba-nya Nussa kerja di mana, Nussa dan Rara anak yang gimana, dll. Pokoknya, aku baru tahu banyak soal Nussa (dan Rara) ya dari film ini.

Sejujurnya, aku bangga banget sih anak negeri punya film animasi sebagus ini dengan plot yang lumayan rapi dan cerita yang bisa diteladani. Itulah kenapa pas film ini tayang di bioskop, aku semangat ajakin Aqsa nonton walaupun dia awam dengan Nussa (dan Rara).

Lebih senangnya lagi, ketika aku tahu bahwa ternyata tokoh Nussa ini sengaja memang dibikin difabel yaitu punya kaki bionic atau kaki palsu yang menandakan bahwa dia bukan sosok yang menonjol di lingkungannya karena dia hampir sempurna. Well, Nussa memang pintar, sayang keluarga, kakak yang baik, taat beribadah, baik sama teman, tapi ternyata dia punya flaw alias kekurangan. Walaupun begitu, Nussa ini optimis sekali seperti halnya anak-anak normal lainnya. Dia tetap penuh semangat dan nggak minder, semacam jadi contoh baik buat anak-anak yang berkebutuhan khusus atau difabel.

Lingkungan pergaulan Nussa juga sehat sekali. Teman-temannya sangat supportif dan memandang dia ya dari kemampuannya bukan dari tampilan fisiknya. Temannya nggak ada yang bully dia. Berbeda dengan realitas atau paling tidak lingkungan pergaulan yang kadang aku jumpai. Bahkan lingkungan masa kecilku, ada anak giginya tonggos aja dibully abis-abisan. So sad emang.

Nussa juga diceritakan menempuh pendidikan di sekolah biasa, entah itu sekolah Islam atau sekolah umum. Yang pasti, dia nggak bersekolah di sekolah luar biasa. Sebuah bentuk penggambaran di mana anak difabel pun bisa sekolah di sekolah umum layaknya anak-anak biasa. Penggambaran ini juga sekaligus sebagai sebuah sindiran halus bahwa sekolah juga seharusnya menyediakan fasilitas khusus untuk anak difabel yang memang mau dan mampu untuk bersekolah di sekolah biasa.

Selama nonton, Aqsa ada masa-masa dia excited tapi ada masa dia bosan juga. Mungkin karena dia belum pernah nonton film dan Nussa Rara juga bukan tontonannya di Youtube, Tapi so far film ini cukup memorable di dia. Kalau aku sendiri, sangat menikmati filmnya. Di luar story-nya soal anak-anak yang cukup bermakna, ada tokoh-tokoh yang bikin betah buat nonton film ini.

Tokoh Bi Mur, Babe Jaelani, dan Pak Ucok yang masing-masing di-dubbing sama Asri Welas, Oppie Kumis, dan Hamka Siregar, bikin film ini jadi terasa segar. Seperti biasa, tokoh yang direpresentasikan sama Asri Welas selalu mencuri perhatian dan khas banget karena dia selalu mengambil bagian lucu atau humor dalam suatu cerita. Sama halnya kayak di filmnya yang sebelumnya, Ali & Ratu-Ratu Queens.

[irp posts=”374″ name=”Ali & Ratu-Ratu Queens, ketika Orang Lain Jadi Ibu dan Ibu Jadi Orang Lain”]

Sementara tokoh Babe Jaelani dan Pak Ucok juga ambil bagian yang sama yaitu part humor di mana mereka dengan logat kedaerahannya masing-masing menggambarkan karakter umum yang biasanya ada di masyarakat: sekuriti dari Suku Betawi dan pedagang kelontong dari Suku Batak. Secara nggak langsung, Indonesia juga terwakili di film ini. Mungkin ini juga sebagai ´tamparan’ bagi para pihak yang bilang serial Nussa kurang nasionalis.

Jangan harap ada karakter antagonis di sini, sama sekali nggak ada. Even Jonni pun, dia bukan antagonis. Dia cuma digambarkan sebagai anak dengan karakter yang dingin dan tertutup. Sementara ayah dan ibunya? Nggak, mereka nggak jahat kok. Cuma sibuk aja jadi anak di nomer sekiankan.

Sebagusnya film Nussa, bagiku tetap ada part yang bikin aku mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya. Kayak pas diceritakan udah masuk Bulan Ramadan, tapi Jonni makan es krim siang-siang yang dikasih Bik Mur. Pas lihat scene ini, kukira Jonni ini non-Muslim lho, jadi semacam ada penggambaran Bhineka Tunggal Ika di pertemanannya Nussa. Tapi ternyata sepertinya Jonni muslim karena dia ikut merayakan Lebaran, sahur, dan puasa. Atau bisa jadi ya Jonni ini penggambaran anak yang background agamanya nggak kuat. Jadi pas udah Bulan Ramadan ya bisa-bisa aja dia nggak puasa.

Lalu penggambaran keluarga Nussa yang menurutku terlalu sederhana. Dilihat dari profil pekerjaan Abba, kemungkinan ia kerja di industri perminyakan lepas pantai atau pertambangan yang mana gajinya untuk ukuran Indonesia gede banget. Apalagi diceritakan kerjanya di luar negeri. Tapi rumah mereka sederhana banget, bahkan musala aja nggak ada karena Rara sama Umma aja salatnya di ruangan semacam ruang tengah yang sebelahnya pintu kamar mandi. Bahkan mereka nggak punya mobil karena saat berangkat ke venue festival science, mereka harus naik taksi.

Sementara yang aku lihat dari sekelilingku, orang yang kerja di perminyakan atau tambang dan itu di luar negeri, duh lah jangan dikata karena duitnya kayak nggak berseri. Rumahnya bisa segede gedong dengan desain terkini, kendaraannya merk Eropa, dan nyekolahin anaknya di sekolahan yang mahal. Tapi ini keluarga Nussa kan sederhana banget. Bisa jadi sih ada sebuah pesan tersirat kalau seberapa besar gajimu, ya hiduplah sederhana aja, secukupnya. Gitu kali ya…

Walaupun ada bagian yang bikin aku bertanya-tanya dan mengernyitkan dahi, but aku tetap apresiasi film ini. Ceritanya bagus, plotnya rapi, maknanya dalam, karakternya merepresentasikan berbagai kalangan, dan yang pasti memberi kesegaran di dunia perfilman Indonesia khususnya saat pandemi ini. Salut untuk film Nussa dan pantas kalau film ini keluar sebagai pemenang film animasi terbaik di FFI.

Oya, satu lagi yang bikin aku betah nonton film ini adalah karena Anta, kucingnya Nussa & Rara. Mood banget si Anta ini. Trus pengisi suara mereka juga anak-anak beneran dan aku paling gemas sama pengisi suara Rara. Imut banget.

0 Comments
Previous Post
Next Post